
Dalam tulisan ini, model proses penerjemahan akan memberikan saran-saran spesifik bagi “kegiatan” penerjemah. Dalam arti luas, “kegiatan” penerjemah meliputi pelatihan (pelatihan di ruang kelas maupun dalam bekerja) maupun penerjemahan lewat pekerjaan secara langsung dan pengetahuan personal. Apa saja yang menjadi pengalaman (lompatan intuitif abduktif, pengujian dan penyaringan induktif, generalisasi deduktif) yang akan membantu penerjemah (bahkan penerjemah tersumpah) untuk terus berkembang dan maju sebagai profesional yang efektif? Bagaimana mungkin pengalaman-pengalaman dapat dibiasakan, diarahkan kembali, diubah bentuknya dari pengalaman atau pelajaran “baru” yang harus dipikirkan dengan cermat menjadi teknik yang kelihatannya muncul dengan sendirinya?
Menurut pemahaman pakar penerjemahan tentang peralihan dari kesadaran lewat pengalaman menjadi kebiasaan, kebiasaan adalah tujuan akhir. Kesadaran dan pengalaman bersatu menciptakan kebiasaan, dan berhenti di sini. Model milik pakar penerjemahan yang sifatnya mengoreksi menyatakan, model pakar penerjemahan harus bergerak memutar menjadi siklus, tegasnya siklus tindakan respons penyesuaian. Pada siklus itu, setiap penyesuaian menjadi tindakan baru, dan setiap kebiasaan mulai tampak seperti “naluri”.
Ilustrasi ini dapat dibayangkan seperti roda mobil, garis yang melintang di atas menandai arah gerakan mobil yang maju kekanan dan mundur kekiri. Selama roda bergerak searah jarum jam, mobil bergerak maju, proses penerjemahan berlangsung lancar, dan penerjemah/pengemudi hanya sesekali menyadari bahwa roda-roda mobil terus berputar. Garis yang melintang di atas disebut “kebiasaan” dan “intuisi” karena begitu proses experiential abduksi, induksi, dan deduksi sudah terarah, maka proses-proses tadi berlangsung secara bawah sadar atau semi sadar. Gerakan garis yang melintang di atas dari kiri ke kanan dapat dianggap menunjukkan perputaran searah jarum jam yang mengikuti lingkaran tiga-serangkai di bawahnya. Gerakan itu dapat dipetakan sebagai berikut: Penerjemah mendekati teks baru, pekerjaan baru, situasi baru dengan kesiapan intuitif atau naluriah, pemahaman akan kemampuannya sendiri yang khusus terhadap bahasa dan penerjemahan. Seiring dengan bertambahnya pengalaman, kemampuan penerjemah semakin meresapi kebiasaan bawah sadar. Anda ingat, menurut pakar penerjemahan, naluri dan kebiasaan sama-sama berarti kesiapan untuk bertindak. Satu-satunya yang membedakan di antara keduanya hanyalah kebiasaan diarahkan oleh pengalaman.
Pengalaman dimulai dengan pengalaman hidup secara umum, pengalaman dengan berbagai cara orang dalam berbicara dan bertingkah-laku, pengalaman dengan profesi, pengalaman dengan luas nya kompleksitas bahasa, pengalaman tentang jaringan sosial, dan pengalaman tentang aneka ragam budaya, norma, nilai, asumsi. Pengetahuan atau pengalaman ini seringkali harus dicari, disusun, dan digabungkan secara aktif, khususnya -tetapi tidak selalu pada awal karier penerjemah. Seiring dengan berlalunya waktu, repertoire bawah sadar pengalaman hidup penerjemah akan berkembang dan berfungsi tanpa sepengetahuan alam sadarnya.
Pada tahap tertinggi kontak dengan teks, pekerjaan atau situasi yang sesungguhnya, penerjemah memiliki intuisi atau gambaran tentang kemampuannya dalam menyelesaikan persoalan apa pun yang muncul, secara abduktif melompati halangan menuju solusi baru. Lambat-laun “masalah” atau “kesulitan” mulai berulang dan membentuk pola. Inilah induksi. Ketika penerjemah mulai memperhatikan dan mengartikulasikan, membaca, atau mengambil mata kuliah tentang pola dan keteraturan ini, dimulailah deduksi. Bersamaan dengan itu, dimulai pula pemahaman penerjemahan secara teoritis.
Pada tahap paling sederhana, deduksi meliputi repertoire seluruh solusi untuk kelompok masalah tertentu, yaitu salah satu bentuk teori penerjemahan yang paling primitif, dan bagi kebanyakan penerjemah, masih dikehendaki sampai sekarang. Prinsip-prinsip deduktif masing-masing penerjemah biasanya disusun lewat banyak perjalanan seputar siklus tadi (abduksi dan induksi berangsur angsur membentuk deduksi, deduksi secara progresif men jadi kebiasaan); tiap-tiap penerjemah akhirnya akan mengembangkan suatu teori penerjemahan yang relatif saling terkait, walaupun ia benar-benar tidak mampu mengartikulasikannya. (Teori ini barangkali kebanyakan bersifat bawah sadar. Bahkan, apapun ketidakmantapan dalam teori tersebut kemungkinan berupa konflik antara bagian-bagian bawah sadar yang berkembang lewat pengalaman praktis, dengan bagian-bagian artikulasi yang mungkin sebagian besar dipelajari sebagai kaidah).
Karena teori efektif ini datang dari pengalamannya sendiri, solusi deduktif milik orang lain untuk masalah spesifik, seperti yang ditawarkan dalam perkuliahan atau tulisan teori misalnya, biasanya lebih sulit untuk diingat, diresapi, dan dilaksanakan dalam praktek. Pada tahap yang lebih tinggi, upaya deduktif ini akan menghasilkan keteraturan yang berhubungan dengan keseluruhan ranah bahasa (register), jenis teks, dan kebudayaan; jadi, menghasilkan bermacam-macam bentuk analisis teks secara linguistik, proses sosial, dan analisis kebudayaan secara sistematis. Kebiasaan yang beragam penerjemah di sebuah lembaga akan memperkaya penerjemah itu sendiri, karena dalam setiap penerjemahan pasti akan mengacu pada interpretasi personal yang bisa jadi memiliki pemahaman yang berbeda-beda. Mengatasi hal ini pengelola perusahaan jasa penerjemah harus menyediakan glosarium yang dipakai sebagai standard umum untuk para penerjemah yang tergabung di dalamnya.